AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR DAN JIHAD
AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR DAN JIHAD; SERTA BERKHIDMAT DAN TAWADHU (TAZKIYATUN NAFS BAB 10 & 11)
Oleh: Arif Sulfiantono (pengasuh kajian NGOPI, Ngobrol Perkara Islam tiap Ahad malam), disampaikan pada Ahad,19 September 2021, disarikan dari Kitab Tazkiyatun Nafs, Intisari Ihya Ulumuddin karya Syaikh Sa’id Hawwa.
AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR DAN JIHAD
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwa itu.” (Asy-Syams: 9).
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (Ali-Imran: 104)
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah: 35)
Sesungguhnya dakwah kepada kebajikan dan yang ma’ruf akan menguatkan kebajikan dan yang ma’ruf itu dapat menyucikan jiwa. Nahi munkar berarti memandang jelek kemungkaran itu di dalam jiwa. Hal ini juga dapat menyucikan jiwa. Sedangkan jihad adalah membebaskan jiwa dari cinta kehidupan dan dunia, serta menjualnya kepada Tuhannya. Hal ini merupakan tingkatan tertinggi yang dicapai oleh jiwa yang suci.
BERKHIDMAT DAN TAWADHU
Rasulullah Saw bersabda,
“Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya.”
“… Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.”(Al-Hijr: 88)
Khidmat (pelayanan) terdiri dari dua macam, yakni khidmat khusus dan umum. Keduanya memberikan pengaruh bagi dalam penyucian jiwa. Khidmat umum memerlukan kesabaran, kelapangan dada, dan kesiapan untuk memenuhi tuntutan setiap saat. Khidmat khusus memerlukan sikap tawadhu terhadap kaum muslimin. Berkhidmat termasuk sarana penting dalam penyucian jiwa jika dilaksanakan dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Apabila landasan berkhidmat adalah tawadhu, dan tawadhu itu sendiri termasuk sarana penyucian jiwa karena dapat menjauhkan jiwa dari keangkuhan dan ujub.
“Berbahagialah orang yang bertawadhu tanpa kehinaan, menafkahkan (menginfakkan) harta yang dikumpulkannya kepada hal yang bukan maksiat, mengasihi orang yang rendah dan hina serta bergaul dengan ahli fiqih dan hikmah.” (HR. At-Thabrani)
Al-Fudhail menerangkan arti tawadhu, “Kamu tunduk kepada kebenaran dan patuh kepadanya, walaupun engkau mendengarnya dari anak kecil engkau tetap menerimanya, bahkan walaupun engkau mendengarnya dari orang terbodoh, engkau tetap menerimanya.”
Abdul Malik bin Marwan ditanya, “Siapakah orang yang paling utama?” Ia menjawab, “Orang yang tawadhu ketika berkuasa, zuhud ketika berambisi, dan tidak membalas ketika memiliki kekuatan.”
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. berkata, “Kami menemukan kedermawanan di dalam ketakwaan, kecukupan di dalam keyakinan, dan kemuliaan di dalam ketawadhu’an.”
Wallaahu’alam.