Membangun Kembali Baiturachim, Menegakkan Peradaban Islam
Membangun Kembali Baiturachim, Menegakkan Peradaban Islam. Proses pembangunan kembali Masjid Baiturachim Patangpuluhan menjadikan penelusuran sejarah masjid sejak zaman Rasulullah Muhammad Saw hingga masa keemasan Islam. Bangunan yang dibangun Rasulullah Saw begitu menjejakkan kaki di Madinah setelah hijrah adalah Masjid, setelah itu Pasar sebagai pusat ekonomi.
Masjid jaman Rasulullah Saw dijadikan sebagai pusat pendidikan ummat, dari ilmu kesehatan pribadi/jasmani hingga politik-kenegaraan. Bahkan masjid juga dijadikan latihan gulat dan perang.
Perkembangan tradisi keilmuan muslim yang mencapai puncaknya pada Dinasti Abbasiyah sampai Turki Usmani ternyata juga diawali dari Masjid yang didirikan Rasulullah Saw. Al-Suffah adalah “universitas” pertama yang dibangun sendiri oleh Rasulullah Saw di Madinah. Shuffah adalah ‘emperan’ masjid Nabawi.
Mahasiswanya disebut Ashab al-Shuffah, atau Ahl al-Shuffah di dalamnya mereka membaca, menulis, belajar hukum-hukum Islam, menghapal dan mempraktekkan Al-Qur’an, belajar tajwid dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Semua diajarkan langsung di bawah pengawasan Rasulullah Saw.
Aktifitas ilmiyah dalam rangka memahami Al-Qur’an yang memproyeksikan pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan di dalamnya itu pada akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan (scientific community). Produk Ilmuwan Muslim Ash-Shuffah diantaranya adalah Sahabat Abu Hurairah ra, Abu Dzar al-Ghiffari ra; Salman al-Farisi ra, dan Abdullah Ibnu Mas’ud ra.
Bahkan Rasulullah Saw menunjuk Ubaidah bin Shamit ra menjadi guru di madrasah Al-Shuffah untuk mengajar tulis-menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Komunitas ilmuwan atau ulama Islam ini kemudian mewariskan ilmunya ke generasi berikutnya dan demikian selanjutnya sehingga membentuk tradisi keilmuan dan juga disiplin ilmu.
Dalam riwayat menurut Wadiyah Ibn Atha: “di Madinah terdapat 3 orang guru yang mengajar anak-anak, Khalifah Umar ra memberikan nafkah kepada tiap-tiap mereka 15 dinar setiap bulan (cat.: saat ini 1 dinar= ± Rp 2 juta).” Dana diambil dari baitul Mal/kas negara. Demikianlah bukti perhatian para Sahabat terhadap ilmu pengetahuan. (Nadaa, 2005)
Tradisi intelektual Ash-Shuffah berlanjut hingga masa Dinasti Umayyah, dengan tetap berpusat di Masjid. Pada masa ini semakin banyak intelektual muslim muncul, seperti pakar bidang Hadist ‘Hasan al Basri, pakar Kedokteran al-Harits ibn Kaladah’, pakar Kimia, Optik, Astrologi, ‘Khalid’ (putra khalifah Umayyah kedua).
Pada masa Dinasti Abbasiyah tradisi keilmuan Muslim semakin meningkat dan berkembang. Berawal dari masjid dan halaqah-halaqah berkembang menjadi Pusat-Pusat Studi Dar al-Kutub/ Darul Ilmi; dan Pusat Terjemahan Baytul al-Hikmah.
Aktifitas yang dilakukan keilmuan yang dilaksanakan adalah 1) Mengkaji Islam dan menterjemah karya-karya asing (catatan: gaji penerjemah sekitar Rp 3.750.000/bulan dan emas seberat buku); 2) Mentransformasi konsep asing ke dalam Islam; dan 3) Mengembangkan Sains Islam.
Ilmuwan muslim terkenal dari Dinasti Abbasiyah adalah pakar matematika dan astronomi Al-Khawarizmi/Algorizm; pakar falsafah, fisika dan optik Al-Kindi; pakar filsafat dan Kedokteran Ibnu Rush, Ibnu Sina, Pakar bedah dan kedokteran Ibnu Zuhr; dll.
Abad ke-18 dalam sejarah Islam adalah abad yang paling menyedihkan bagi umat Islam dan memperoleh catatan buruk bagi peradaban Islam secara universal.
Seperti yang diungkapkan oleh Lothrop Stoddard, bahwa menjelang abad ke-18, ummat Islam telah merosot ke tingkat yang terendah. Islam tampaknya sudah mati, dan yang tertinggal hanyalah cangkangnya yang kering-kerontang berupa ritual tanpa jiwa dan takhayul yang merendahkan martabat umatnya.
Ia, menyatakan seandainya Muhammad Saw bisa kembali hidup, dia pasti akan mengutuk para pengikutnya: sebagai kaum murtad dan, musyrik. (CA. Qadir, 1989) Peryataan Stoddard ini menggambarkan begitu dahsyatnya proses kejatuhan peradaban dan tradisi keilmuan Islam yang kemudian menjadikan umat Islam sebagai bangsa yang dijajah oleh bangsa-bangsa Barat.
Menurut cendekiawan muslim Aljazair ‘Malik bin Nabi’, problem setiap bangsa sesungguhnya adalah problem peradabannya. Tidak mungkin suatu bangsa bisa memahami atau memecahkan kesulitan-kesulitannya sepanjang ia tidak naik bersama pemikirannya ke peristiwa-peristiwa yang manusiawi dan tidak memahami secara mendalam faktor-faktor yang membangun atau meruntuhkan peradabannya.
Menurut cendekiawan muslim Indonesia ‘Hamid Fahmy Zarkasyi’, masalah peradaban atau civilization ummat Islam hanya dapat diselesaikan jika ummat Islam kembali pada worldview Islam dan tradisi keilmuan.
Belajar dari Majelis Ash-Shuffah perlu untuk menghidupkan kembali tradisi keilmuan di masjid-masjid dengan diskusi-diskusi ilmiah yang mencerdaskan. Bukankah kata ‘ilm’ dalam Al-Qur’an disebut 750 kali (17%) setelah kata ‘Allah’ (2800 kali, 62%)??
Membayangkan Majelis Ash-Shuffah menjadikan keinginan kuat untuk menghadirkan pada Masjid Baiturachim yang baru. Lantai 2 dapat dibuat menjadi ruang belajar dan diskusi keilmuan yang dilengkapi perpustakaan, hotspot/wifi, layar LCD, hingga coffee maker (ilmuwan Islam-lah yang memperkenalkan minuman kopi sebagai teman mengkaji ilmu).
Tiap sore dan malam di masjid terlihat pemudanya sibuk membaca asbabul nuzul (sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an), asbabul wurud (sebab-sebab turunnya hadis), Fikih Sunnah hingga mengkaji kitab klasik seperti Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun, Tahafut Falasafiyah-nya Al-Ghazali dan balasannya dari Ibnu Rusyd, Tahafut Tahafut ditemani secangkir kopi arabica dari lereng Gunung Merapi dan kiriman martabak dari Bu Yanti serta roti keju dari Bu Dindit.
“Agama adalah penerang hati, sedangkan ilmu pengetahuan peradaban adalah penerang akal.” kata Ulama Turki Badiuzzaman Said Nursi.
*) ditulis oleh Arif Sulfiantono (Ketua RISMA Baiturachim periode tahun 1999 – 2001)